RETENSIO PLASENTA
I. PENDAHULUAN
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya
dari tempat implantasinya sebelum janin lahir yang implantasinya di
atas 22 minggu. Solusio plasenta biasa juga disebut placental abruption. Plasenta
normalnya terlepas setelah anak lahir, pelepasan plasenta sebelum
minggu ke-22 disebut abortus dan jika terjadi pelepasan plasenta pada
plasenta yang rendah implantasinya disebut plasenta previa bukan solusio
plasenta. Perdarahan akibat solusio plasenta
biasanya
merembes diantara selaput ketuban dan uterus, kemudian keluar melalui
serviks, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage).
Terkadang darah tidak keluar tetapi tertahan di antara plasenta yang
terlepas dan uterus, serta menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage).
Solusio plasenta dapat total atau parsial. Solusio plasenta dengan
perdarahan tertutup menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak
saja karena kemungkinan koagulopati konsumtif tetapi juga karena jumlah
darah yang keluar sulit diperkirakan. Solusio plasenta sebenarnya lebih
berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada
perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang luas di mana
perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi
uteroplasenta dan menyebabkan hipoksia janin.
II. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan pervaginam ringan merupakan hal yang lazim selama persalinan aktif. “Bloody show”
ini terjadi akibat pendataran dan pembukaan serviks disertai robeknya
pembuluh-pembuluh vena halus. Perdarahan uterus dari tempat diatas
serviks sebelum melahirkan merupakan hal yang mengkhawatirkan.
Perdarahan dapat berasal dari robeknya plasenta yang terletak di tempat
lain di rongga uterus seperti solusio plasenta. Lipitz
meneliti 65 wanita secara beruntutan yaitu hampir 1 persen dari pasien
mereka yang mengalami perdarahan uterus pada kehamilan antara 14 dan 26
minggu. Hampir seperempatnya mengalami solusio plasenta atau plasenta
previa. Frekuensi solusio plasenta yang dilaporkan adalah sekitar 1 dari
200 pelahiran. Ananth mengulas 13 penelitian dengan hampir 1,6 juta
kehamilan dan melaporkan insiden 1 dari 155. Seiring dengan berkurangnya
jumlah wanita yang berparitas tinggi yang dirawat serta tersedianya
perawatan prenatal secara luas di masyarakat dan membaiknya transportasi
darurat, frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin
telah turun menjadi 1 dari 830 pelahiran dari tahun 1974-198.
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75
sampai 830 persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian
perinatal. Walaupun angka kejadian cenderung menurun pada akhir-akhir
ini namun morbiditas perinatal masih cukup tinggi, termasuk gangguan
neurologis pada tahun pertama kehidupan. Solusio plasenta sering
berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di
antara 8 kehamilan.
III. ETIOLOGI
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi
terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama
dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor
resiko.
a) Hipertensi essensial atau pre-eklampsi, karena desakan
darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi hematom
retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas.
b) Trauma dapat menyebabkan tarikan pada tali pusat yang
pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau
pertolongan persalinan
c) Anemia.
d) Adanya tekanan pada uterus yang biasanya di dapati pada
keadaan polihidramnion ataupun setelah melahirkan kembar yang pertama.
Disamping itu ada juga pengaruh dari umur lanjut karena makin lanjut
umur maka kemungkinan mendapatkan arteriosklerosis makin besar,
multiparitas dimana didapatkan lebih banyak terjadi pada multigravida
daripada primigravida, ketuban pecah sebelum waktunya, defisiensi
as.folat, merokok dapat menyebabkan nekrosis dari lamina basalis,
kokain dapat menyebabkan vasospasme dan hipertensi, mioma uteri.
Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi,
antara lain mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau
hipertensi kronik. Pada studi terdahulu di Parkland Hospital terdapat
408 kasus solusio plasenta yang sedemikian berat sehingga mematikan
janin, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh wanita. Separuhnya
mengidap hipertensi kronik dan sisanya menderita hipertensi gestasional
dan pre-eklampsia. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa wanita
hipertensi cenderung mengalami solusio yang lebih berat.
IV. ANATOMI UTERUS
Uterus merupakan organ muscular, berdinding tebal, dan pipih, cekung
dan berbentuk seperti buah pir yang terbalik. Rongga uterus dilapisi
endometrium. Uterus wanita yang tidak hamil terletak di rongga panggul
antara kandung kemih di anterior dan rektum di posterior. Pada wanita
yang belum melahirkan, berat uterus matang sekitar 30-40 gr sedangkan
pada wanita yang pernah melahirkan, berat uterusnya adalah 75-100 gr.
uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin, dan
teraba padat. Derajat kepadatan tergantung dari beberapa factor,
diantaranya uterus lebih banyak mengandung rongga selama fase sekresi
siklus menstruasi, lebih lunak selama masa hamil, dan lebih padat
setelah menopause. Hampir seluruh dinding posterior uterus tertutup oleh
serosa atau peritoneum, yang bagian bawahnya membentuk batas anterior
kavum rektouterina atau disebut juga recto-uterine cul-de-sac
atau kavum Douglasi. Sebelah atas rongga rahim berhubungan dengan
saluran telur (tuba fallopi) dan sebelah bawah berhubungan dengan leher
rahim (kanalis servikalis). Hubungan antara kanalis servikalis dan kavum
uteri disebut ostium uteri internum, sedangkan muara kanalis servikalis
ke dalam vagina disebut ostium uteri eksternum. Dinding rahim terdiri
dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah perimetrium (lapisan
peritoneum) yang meliputi dinding uterus bagian luar. Lapisan kedua
adalah myometrium (lapisan otot), merupakan lapisan yang paling tebal
terdiri dari otot polos yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat
mendorong isi dari rahin pada saat persalinan. Lapisan ketiga adalah
endometrium (selaput lendir) merupakan lapisan bagian dalam dari korpus
uteri yang membatasi kavum uteri. Dalam keadaan kehamilan endometrium
berubah menjadi desidua.
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di
bagian ismus. Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi
atas segmen vaginal dan supravaginal.
Suplai vaskular uterus terutama berasal dari arteri-arteri uterus dan
ovarium. Arteri uterina yang merupakan cabang utama arteri
iliakainterna (hipogastrika), masuk ke dasar ligamentum latum dan
berjalan ke medial menuju sisi uterus kira-kira setinggi ostium uteri
internum dan memberi darah pada uterus dan bagian atas vagina serta
mengadakan anastomose dengan arteri ovarica. Arteri ovarica berasal dari
aorta masuk ke ligamentum latum melalui ligamentum infundibulo pelvicum
dan memberi darah ke ovarium, tuba, dan fundus uteri. Darah dari uterus
dialirkan melalui vena uterina dan vena ovarica.
Kontraksi dinding uterus adalah autonom, tidak melalui sistem saraf
pusat, serat saraf yang datang dari sistem saraf pusat hanya
mengkoordinasi kontraksi. Uterus dipengaruhi oleh serat-serat saraf
symphatis dan parasymphatis yang menuju ke ganglion cervical yang
terletak pada pangkal ligamentum sacro uterinum. Rangsangan pada
ganglion ini seperti tekanan oleh kepala anak dapat menguatkan his.
Ligamentum pada uterus terdiri dari ligamentum teres uteri,
ligamentum latum, ligamentum infundibulum pelvicum, ligamentum cardinal,
ligamentum sacro uterinum, dan ligamentum vesico uterinum. Ligament
rotundum melekat ke kornu uterus pada bagian anterior insersi tuba
fallopii. Struktur yang menyerupai tali ini melewati pelvis, lalu
memasuki cincin inguinal pada dua sisi dan mengikat osteum dari tulang
pelvis dengan kuat. Ligamin ini memberikan stabilitas bagian atas
uterus. Liganmentum cardinam menghubungkan uterus ke dinding abdomen
anterior setinggi serviks. Ligament uterosakral melekat pada uterus di
bagian posterior setinggi serviks dan behubungan dengan tulang sacrum.
Fungsi dari ligament cardinal dan uterosakral adalah sebagai penopang
yang kuat pada dasar pelvis wanita. Kerusakan-kerusakan pada ligament
ini, termasuk akibat tegangan saat melahirkan, dapat menyebabkan prolaps
uterus dan dasar pelvis ke dalam vagina bahkan melewati vagina dan
mencapai vulva
Tuba fallopi terdiri dari pars interstisial, ismus, ampula, dan infundibulum.
Bagian interstisial tertanam di dalam dinding otot uterus. Ismus atau
bagaian yang menyempit dari tuba menempel dengan uterus, sedikit demi
sedikit semakin melebar ke bagian lateral, yaitu ampula. Infundibulum, atau ujung yang memiliki fimbriae, adalah lubang berbentuk corong pada ujung distal tuba fallopi.
Ovarium terletak pada bagian atas rongga panggul dan bersandar pada
lekukan dangkal dinding lateral pelvis diantar pembuluh darah iliaka
eksterna dan interna yang divergen – fosa ovarika waldeyer. Ovarium terdiri dari bagian luar (cortex) yang berisi folikel-folikel primordial dan bagian medulla terdapat pembulih darah, saraf, dan pembuluh limfe.
V. PROSES PEMBUAHAN DAN PEMBENTUKAN PLASENTA
Pada setiap siklus menstruasi normal, satu telur (ovum) dilepaskan
dari salah satu ovarium, sekitar 14 hari sebelum periode menstruasi
berikutnya. Pelepasan telur ini disebut ovulasi. Sel telur yang telah
dilepaskan oleh ovum akan menuju ke tuba. Pada ovulasi, lendir di leher
rahim menjadi lebih cair dan lebih elastis, yang memungkinkan sperma
masuk rahim dengan cepat. Dalam waktu 5 menit, sperma bisa bergerak dari
vagina, melalui leher rahim ke dalam rahim, dan sampai ke tuba fallopi
uantuk melakukan fertilisasi. Sel-sel yang melapisi tuba falopi
memfasilitasi fertilisasi. Untuk membuahi sebuah ovum, sebuah sperma
mula-mula harus melewati korona radiata dan zona pelusida yang
mengelilingi ovum tersebut. Setelah terjadi fertilisasi atau pembuahan
oleh sperma terjadi maka sel yang dihasilkan adalah zigot. Kemudian
terjadi pembelahan pada zigot sehingga menghasilkan morula. Morula
kemudian menuju ke uterus dan hidup dari sekresi endometrium dan terus
membelah diri. Selama enam sampai tujuh hari setelah ovulasi,
endometrium secara simultan dipersiapkan untuk implantasi di bawah
pengaruh progesteron fase luteal. Selama waktu ini, uterus berada dalam
fase sekretorik atau progestasional, mengumpulkan penyimpanan glikogen
dan mengandung banyak pembuluh darah. Dalam keadaan normal pada saat
endometrium siap diimplantasikan, morula kemudian berdiferensiasi
menjadi blastokista yang mampu melakukan implantasi. Blastokista adalah
satu lapis sel-sel berbentuk bola (sferis) yang mengelilingi suatu
rongga berisi cairan dengan massa padat sel-sel (inner cell mass)
yang akan menjadi janin itu sendiri. Dinding blastokista merupakan
salah satu sel tebal, kecuali di suatu bagian, di mana ia adalah tiga
sampai empat sel tebal. Sel-sel bagian dalam di daerah menebal
berkembang menjadi embrio, dan sel-sel luar ke dalam dinding rahim
berkembang menjadi plasenta. Bagian blastokista sisanya tidak akan
menyatu dengan janin tetapi berfungsi sebagai penunjang selama kehidupan
intrauterus. Lapisan tipis paling luar, yaitu trofoblas,
bertanggungjawab menyelesaikan implantasi. Rongga cairan yang disebut
blastokel akan menjadi kantung amnion yang mengelilingi dan menjadi
bantalan bagi janin selama kehamilan.
Ketika blastokista siap melaksanakan implantasi, permukaanya menjadi
lengket. Blastokista melekat ke lapisan dalam uterus. Implantasi dimulai
ketika sel-sel trofoblastik mengeluarkan enzim-enzim proteolitik
sewaktu bersentuhan dengan endometrium. Enzim-enzim ini mencerna jalan
diantara sel-sel endometrium, sehingga sel-sel trofoblas yang berbentuk
jari-jari dapat menembus ke dalam endometrium tempat implantasi
dilakukan. Invasi trofoblas pada endometrium menyebabkan sel-sel
endometrium mengeluarkan prostaglandin yang bekerja secara lokal untuk
meningkatkan vaskularisasi sehingga menyebabkan edema dan meningkatkan
simpanan zat gizi. Jaringan endometrium yang mengalami perubahan
tersebut disebut desidua. Pada jaringan desidua yang superkaya inilah
blastokista tertanam.
Lapisan trofoblas terus mencerna sel-sel desidua disekitarnya dan
menyediakan energi sampai plasenta terbentuk. Simpanan glikogen dalam
endometrium hanya mampu memberi makan pada minggu-minggu pertama. Untuk
mempertahankan hidup di uterus, terbentuklah plasenta, suatu organ
khusus untuk pertukaran antara darah ibu dan janin. Plasenta berasal
dari jaringan trofoblastik dan desidua.
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri
disebut desidua kapsularis; yang terletak antara hasil konsepsi dan
dinding uterus disebut desidua basalis; pada tempat itulah plasenta akan
dibentuk. Saat ini lapisan trofoblastik sudah mencapai ketebalan dua
lapisan yang disebut korion. Karena uterus mengeluarkan enzim dan
meluas, korion membentuk suatu jaringan rongga-rongga yang meluas di
dalam desidua. Dinding kapiler desidua mengalami erosi akibat ekspansi
korion sehingga rongga berisi darah ibu. Terbentuk tonjolan-tonjolan
mirip jari dari jaringan korion yang meluas ke dalam genangan darah ibu.
Janin segera mengirimkan kapiler ke tonjolan-tonjolan korion untuk
membentuk vilus plasenta. Sebagian vilus meluas secara sempurna menembus
ruang-ruang berisi darah untuk menambatkan plasenta bagian janin ke
jaringan endometrium, tetapi sebagian besar hanya menonjol ke dalam
genangan darah ibu. Setiap vilus plasenta mengandung kapiler janin yang
dikelilingi oleh selapis tipis jaringan korion yang memisahkan darah
janin dan darah ibu di ruangan antarvilus. Melalui sawar yang sangat
tipis inilah semua bahan dipertukarkan antara darah ibu dan janin.
Plasenta menghasilkan beberapa hormon yang membantu menjaga kehamilan,
misalnya plasenta menghasilkan human chorionic gonadotropin (HCG), yang
mencegah indung telur dari telur melepaskan dan menstimulasi ovarium
untuk menghasilkan estrogen dan progesterone. Keseluruhan sistem
struktur ibu (desidua) dan janin (korion) yang saling mengunci ini
membentuk plasenta.
Plasenta adalah organ yang berfungsi respirasi, nutrisi, ekskresi dan
produksi hormon. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme
difusi sederhana, difusi terfasilitasi, aktif, dan pinositosis. Difusi
sederhana misalnya pertukaran oksigen, difusi terfasilitasi misalnya
difusi glukosa akibat perbedaan kadar glukosa antara ibu dan janin,
transport aktif misalnya traspor as.amino dan vitamin, pinositosis
misalnya traspor IgG, fosfolipid, dan lipoprotein.
Janin dan plasenta dihubungkan oleh tali pusar yang berisi oleh 2
arteri dan satu vena, vena berisi oleh darah penuh oksigen, sedangkan
arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor. Pada kehamilan aterm
arus darah uteroplasenta berkisar 500-750 ml/menit, jika arus darah
uteroplasenta berkurang misalnya pada pre-eklampsia mengakibatkan
perkembangan janin terhambat. Konsep yang diterima saat ini, jika
implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan
model arteri spiralis tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan
sirkulasi uteroplasenta abnormal dan beresiko pre-eklampsia.
VI. PATOFISOLOGI
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam
desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal
dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya
hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta
dari dinding uterus. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus tidak mampu
berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi.
Hematom ini semakin membesar dan menekan jaringan plasenta sehingga
bagian plasenta yang terlepas juga semakin besar. Akhirnya hematom
mencapai pinggir plasenta dan mengalir keluar antara selaput janin dan
dinding rahim. Darah dapat berada diantara desidua dan membran yang
dapat keluar melalui serviks kemudian ke vagina (pardarahan eksternal). Jika
ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan bagian bawah dari serosa
bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba masuk ke rongga
panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan
darah yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan
postpartum karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi
pada uterus dan bekuan retroplasenter menyebabkan pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga
berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan
sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan
hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan
pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat
tubuh lainny.
Besarnya permukaan plasenta yang menjadi terpisah dari
suplai darah ibu menentukan gambaran klinis dengan mempengaruhi jumlah
kehilangan darah akut dari ibu dan penurunan suplai oksigen ke janin,
menyebabkan gawat janin atau kematian. Pasien dengan perdarahan yang
sedikit mungkin belum menimbulkan gejala pada awalnya. Kejadian baru
diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta
didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama
yang berwarna kehitaman. Darah pada desidua basalis hasil dari pelepasan
plasenta menyebabkan hipoksia pada janin sedangkan darah pada lapisan
serosa rahim dapat menyebabkan Couvelair Uterus. Awalnya
perdarahan di dalam desidua basalis terjadi karena pecahnya arteri kecil
pada lapisan desidua ibu disertai pembentukan hematoma sehingga
menyebabkan nekrosis lokal. Tekanan yang dihasilkan oleh perdarahan
menyebabkan plasenta terlepas. Pada kebanyakan pasien, perdarahan dari
pemisahan plasenta meluas ke tepi plasenta kemudian dapat terjadi
pecahnya selaput ketuban dan darah masuk ke dalam cairan amnion atau
kasus yang lebih sering terjadi adalah darah berada di antara korion dan
desidua vera kemudian mencapai ostium interna serviks dan vagina
sehingga terjadi perdarahan ekternal (revealed hemorrhage).
Jika lapisan marginal plasenta tetap melekat pada uterus disertai letak
kepala janin pada segmen bawah uterus, hal ini dapat menyebabkan
perdarahan yang tersembunyi (conceled hemorrhage). Banyaknya darah yang keluar melalui vagina hanya sebagian kecil dari total perdarahan yang terjadi di dalam uterus.
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim yang disebut internal hemorage (concealed haemorage); masuk merembes ke dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketunban dan dinding uterus), yang disebut external haemorage (revealed haemorage).
Solusio plasenta dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Menurut jenis Perdarahan
1. Jenis perdarahan tersembunyi (concealed), perdarahan terperangkap dalam kavum uteri (hematoma retroplasenta)
2. Jenis perdarahan keluar/ekternal (revealed), darah keluar dari ostium uteri
b. Menurut lepasnya plasenta
1. Solusio plasenta parsialis, bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari perlekatannya.
2. Solusio plasenta totalis (komplit), bila seluruh plasenta sudah terlepas dari tempat perlekatannya.
c. Menurut derajatnya (grading)
1. Solusio plasenta ringan
a) Perdarahan kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari 1/5 bagian
b) Perut ibu masih lemas sehingga janin mudah di raba
c) Tanda fetal distress belum tampak
d) Terdapat perdarahan hitam pervaginam
e) Tanpa gangguan pembekuan darah
2. Solusio plasenta sedang
a) Lepasnya plasenta antara ¼-2/3 bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc
b) Perut mulai tegang, nyeri tekan uterus karena darah telah
mengadakan infiltrasi di antara serabut otot uterus dan janin sulit di
raba
c) Janin mengalami hipoksia dan denyut jantung abnormal
d) Tanda persalinan ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
3. Solusio plasenta berat
a) Lepasnya plasenta melebihi 2/3 bagian
b) Ibu biasanya dalam keadaan syok
c) Perut nyeri dan tegang, bagian janin sulit di raba
d) Darah dapat masuk otot rahim, uterus couvelaire yang menyebabkan atonia uteri serta perdarahan pasca partus
e) Terdapat gangguan pembekuan darah
VII. GEJALA KLINIS
a. Nyeri perut berat dan konstan, nyeri semakin bertambah jika terdapat perdarahan yang tersembunyi.
b. Perdarahan pervaginam.
c. Uterus menjadi tegang dan nyeri saat disentuh karena isi
rahim bertambah, terjadi ektravasasi perdarahan hingga ke dinding
uterus. Pada kasus yang berat, darah dapat masuk ke peritoneum dan
menyebabkan sulit untuk mendengarkan denyut jantung janin.
d. dapat terjadi atonia uteri.
e. Tanda-tanda syok tampak
f. Bunyi jantung janin berfluktuasi
g. Dapat terjadi hipovolemia berdasarkan beratnya perdarahan
VIII. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut; kadang-kadang pasien
bisa melokalisir tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta
terlepas.
2) Perdarahan pervaginam terdiri dari darah segar dan bekuan darah.
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti.
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang.
b. Pemeriksanaan Fisik
1) Inspeksi
a) pasien gelisah
b) pucat, sianosis, keringat dingin
c) perdarahan pervaginam
2) Palpasi
a) Fundus uteri tampak naik karena terjadi hematoma retroplasenter; uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan
b) Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun diluar his.
c) Nyeri tekan terutama di tempat plasenta terlepas
d) Bagian-bagian janin sulit teraba, karena uterus tegang.
3) Auskultasi
a) Sulit karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin
terdengar biasanya diatas 140/menit, kemudian menurun dibawah 100 dan
akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari sepertiga.
c. Pemeriksaan Dalam
1) Serviks dapat terbuka atau masih tertutup.
2) Kalau telah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun diluar his.
d. Tes Laboratorium
1) Hitung darah lengkap dan hapusan darah dapat
mengindikasikan adanya anemia dan kehilangan darah. Penurunan nilai
hematokrit pada serangkaian pemeriksaan dan memberi kesan adanya
perdarahan tersembunyi. Periksa golongan darah, kalau bisa cross match test karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah atau hipofibrinogenemia, maka diperiksa pula COT (Clot observation Test) tiap satu jam, tes kualitatif fibrinogen (fibrindex), dan tes kuantitatif fibrinogen.
2) Urinalisis biasanya normal. Proteinuria memberi kesan adanya kaitan dengan pre-eklampsia.
e. Radiologi
Pada pemeriksaan ultrasonographic (USG), perdarahan akut dapat terlihat hiperechoic atau isoechoic sama dengan warna plasenta. Lebih dari 1 minggu hematoma menjadi hipoechoic.
Untuk itu dalam mendiagnosis dibutuhkan pemeriksaan USG beberapa kali,
disamping itu pemeriksaan USG digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya plasenta previa. Hematoma preplasenta dapat terlihat mengapung pada cairan amnion saat menahan pasenta. USG dapat menunjukkan banyak perdarahan, hiphoechoic atau hiperechoic
(tergantung stadiumnya) perdarahan retroplasenta dan elevasi plasenta
dari dinding uterus akan tampak. Pemeriksaan USG dapat memperlihatakan
perdarahan retroplasenta diantara plasenta dan miometrium.
IX. DIAGNOSIS BANDING
a. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi
sebagian atau seluruh pembukaan jalan rahir (ostium uteri internal).
Klasifikasi antara lain adalah plasenta previa totalis, plasenta previa
parsialis, dam plasenta previa marginalis.
Gejala Klinis dari plasenta previa ialah perdarahan pada kehamilan diatas 20 minggu, tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent).
Sebab perdarahan ialah karena ada plasenta yang robek yang berada pada
segmen bawah rahim. Perdarahan bergantung pada banyak pembuluh darah
yang robek dan plasenta yg lepas. Pada sebagian kasus, terutama pada
mereka yang plasentanya tertanam dekat tetapi tidak menutupi ostium
serviks, perdarahan mungkin belum terjadi sampai persalinan dimulai.
Perdarahan ini bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menyerupai
solusio plasenta.
Mendiagnosis plasenta previa selalu harus dibandingkan dengan solusio
plasenta karena keduanya merupakan jenis perdarahan pada paruh terakhir
kehamilan. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan
luar yang menunjukkan terdapat kelaianan letak plasenta, inspekulo, dan
USG. Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan sampai
pemeriksaan sesuai termasuk USG, jelas membuktikan bahwa itu bukan
plasenta previa. Diagnosis plasenta previa jarang dapat dipastikan
dengan pemeriksaan klinis. Dengan USG dapat terlihat jelas lokasi
implantasi plasenta, sehingga dengan USG dapat dipastikan diagnosis
plasenta previa. Pemakaian USG transvaginal mampu melakukan visualisasi ostium serviks pada semua kasus.
Penatalaksanaan plasenta previa pada janin prematur tetapi tanpa
perdarahan aktif adalah perawatan konservatif seperti tirah baring,
infus dextrose 5%, pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan Hb,
hematokrit, dan USG. Pasien dapat dipulangkan setelah perdarahan
berhenti dan janin dianggap sehat. Namun jika kehamilan telah cukup
bulan, terjadi perdarahan aktif, atau anak mati dapat dilakukan
penanganan aktif berupa persalinan pervaginam atau seksio sesarea.
Persalinan pervaginam dilakukan pada keadaan Plasenta previa lateralis/
marginalis dengan KJDR, serviks matang, kepala masuk PAP, maka lakukan
amniotomi diikuti drip oksitosin diteruskan persalinan pervaginam.
Sedangkan Indikasi seksio sesarea adalah plasenta previa totalis,
perdarahan banyak tanpa henti, presentasi abnormal, panggul sempit, dan
gawat janin.
b. Ruptura Uteri
Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat
berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada
kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar
pada bagian bawah uterus. Peregangan berlebihan segmen bawah uterus
(SBR) disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada rupture uteri.
Ruptur uteri yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering
mengenai SBR yang menipis. Robekan apabila terletak dekat dengan
serviks, sering meluas secara melintang atau oblik.
Gejala klinis dari ruptur uteri ialah rasa nyeri yang luar biasa saat
datangnya his, terlihat tanda-tanda syok hipovolemia, pernapasan
dangkal dan cepat, karena partus lama terjadi menyebabkan dehidrasi,
tampak lingkaran retraksi patologis Bandl. Setelah terjadinya
ruptur uteri biasanya rasa nyeri menghilang sementara dan setelah itu
penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata disertai dengan gawat
janin, bagian terendah janin mudah di dorong ke atas, bagian janin mudah
diraba dengan palpasi abdomen, dan countour janin terlihat melalui inspeksi abdomen. Pada ruptur uteri jika dilakukan pemeriksaan dalam (vaginal toucher)
kadang-kadang kita dapat meraba robekan di dinding uterus yang dapat
dilewati oleh jari untuk mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya
robekan buka berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri.
Pada ruptur uteri spontan atau ruptur yang jelas sewaktu partus
percobaan setelah seksio sesarea, sering dilakukan histerektomi. Ligasi
arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi perdarahan secara
bermakna.
X. PENATALAKSANAAN
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke
spesialis karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan
maupun persalinan.
Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta
ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif,
mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan
USG serta menunggu persalinan spontan.
Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan
yang memburuk, jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan
partus pervaginam dengan amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea
diindikasikan bila persalinan diperkirakan > 6 Jam. Pasien dengan
solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi darah atau resusitasi
cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok hendaknya dilakukan
terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah
untuk mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera berikan
infus oksitosin. Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok
serta mengurangi kemungkinan masuknya tromboplastin.
Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika
persalinan pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio
plasenta ringan, sedang maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan
pada keadaan dimana solusio plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan
kecil, solusio plasenta dengan toksemia berat dengan perdarahan banyak
tetapi pembukaan kecil, dan solusio plasenta dengan panggul sempit atau
letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi pilihan jika janin harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin.
Ketika fibrinogen turun mencapai <300mg/dl terjadi gangguan pembekuan darah, harus dilakukan transfusi. Transfusi dengan whole blood
adalah pilihan terbaik. Histerektomi dilakukan bila ada atonia uteri
yang berat, Hipofibrinogenemia dan kalau persedian darah atau fibrinogen
tidak cukup.
Resusitasi dan mengembalikan volume darah dilakukan untuk mencegah kerusakan ginjal.
Pemberian darah yang cukup bergantung pada derajat perdarahan ibu.
Paling sedikit 1500 ml darah harus ditransfusikan pada kasus perdarahan
sedang, dan 2500 ml pada kasus berat, 500 ml pertama ditransfusikan
secara cepat untuk mencegan gangguan ginjal dan anuria dan sisa
transfusi di sesuaikan dengan kebutuhan. Darah vena diperiksa setiap 2
jam untuk mengetahui koagulopati dan jika terjadi gangguan ini harus di
terapi.
Jumlah urine yang keluar diukur setiap 2 jam. Dapat terjadi oliguria
tetapi diuresis dapat timbul setelah melahirkan asalkan jumlah darah
yang ditransfusikan memadai. Diuresis yang baik lebih dari 30-40 cc/jam,
jika urine <30 ml/jam, harus segera di berikan bolus cairan
250-500ml.
XI. KOMPLIKASI
a. Kegagalan pembekuan darah (coagulation failure),
pada kasus yang berat dan perdarahan tersembunyi dapat terjadi.
Gangguan pembekuan darah harus segera ditangani sebelum proses
persalinan dilakukan. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik, fresh frozen plasma dan konsentrasi platelet dapat diindikasikan.
b. Intrauterin fetal death
c. Emboli, syok yang berat sewaktu persalinan dapat
disebabkan oleh emboli air ketuban. Setelah ketuban pecah ada
kemungkinan air ketuban masuk ke dalam vena-vena tempat plasenta,
endoserviks, atau luka lainnya. Air ketuban mengandung lanugo, verniks
kaseosa, dan mekonium dapat menimbulkan emboli karena dapat menyumbat
kapiler paru dan menimbulkan infark paru serta dilatasi jantung kanan.
Emboli ini dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul bila terjadi
emboli yaitu sesak napas, sianosis, edema paru, syok, dan relaksasi
otot-otot rahim dengan perdarahan pasca persalinan.
d. Kerusakan ginjal, syok hipovolemik yang berat
dapat menyebabkan gagal ginjal dengan diawali hemoglobinuria, kemudian
oliguria atau anuria. Hal ini dapat merusak tubulus ginjal atau nekrosis
pada korteks ginjal. Untuk itu pada kasus solusio plasenta yang berat
harus dilakukan monitoring pengeluaran urine secara cermat. Pre-eklampsia
sering menyertai solusio plasenta, vasospasme ginjal kemungkinan besar
makin intensif. Bahkan apabila solusio plasenta disertai penyulit
koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan secara dini dan agresif
dengan darah dan kristaloid sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang
bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui, proteinuria
sering dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang berat. Proteinuria
ini biasanya mereda segera setelah pelahiran.
XII. PROGNOSIS
Prognosis untuk anak pada solutio plasenta yang berat adalah kematian
anak 90%. Untuk ibu solusio plasenta juga merupakan keadaan yang
berbahaya tapi dengan persediaan darah yang cukup dan penanganan yang
baik, kematian dapat ditekan. Prognosis bergantung pada besarnya bagian
plasenta yang terlepas, banyaknya perdarahan, beratnya
hipofibrinogenemi, apakah perdarahan nampak atau tersembunyi dan lamanya
keadaan solusio plasenta berlangsung.
Mortalitas terhadap ibu terjadi karena adanya perdarahan sebelum dan
sesudah partus, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan
infeksi. Pada perdarahan eksternal, resiko yang terjadi pada
ibu bergantung pada banyaknya darah yang hilang, namun kematian ibu
jarang terjadi. Pada perdarahan yang tersembunyi, prognosisnya sulit
diperkirakan. Komplikasi bisa hanya satu ataupun kombinasi.
(1)Perdarahan bisa terjadi intraperitoneal ataupun hematoma pada
ligamentum. (2) syok dapat terjadi berdasarkan jumlah darah yang keluar.
(3)Gangguan pembekuan darah. (4) oliguria dan anuria biasanya
dipengaruhi oleh syok hipovelemia. Faktor komplikasi bertanggung jawab
atas peningkatan kematian ibu. Penanganan yang baik terhadap syok,
kegagalan koagulasi dan gangguan ginjal, dapat menurunkan kematian ibu.
Mortalitas terhadap anak lebih tinggi, hal ini bergantung pada
pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih dari 1/3 maka
kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga bergantung pada
prematuritas dan tindakan persalinan. Pada perdarahan
eksternal kematian janin mencapai 25-30% dan pada perdarahan tersembunyi
mencapai 50-100%. Kematian disertai dengan prematuritas dan anoxia
karena pelepasan plasenta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F. G; Gant, N. F; Levono, K. J; et all [ed].
Obstetri William. Volume 1. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2006. h. 687-96, 34-52.
2. Prawirohardjo, Sarwono. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan
Persalinan. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka; 2008. h.
503-506.
3. Sastrawinata, Sulaiman. Perdarahan Antepartum. Obstetri
Patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h.
91-97.
4. Mochtar, Rustam. Perdarahan Antepartum (Hamil Tua). Sinopsis
Obstetri. Edisi 2. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998.
h. 279-287
5. Hanretty, P Kevin. Vaginal Bleeding In Pregnancy. Obstetrics
Illustrated. Sixth Edition. Philadelvia: Elsevier Science; 2003. h.
188-189.
6. Bader, J Thomas. Antepartum Bleeding. OB/GYN SECRET. Third
Edition. Philadelphia: Hanley and Belfus, INC; 2003. h. 279-281.
8. Llewellyn, Derek-Jones. Perdarahan Antepartum. Dasar-Dasar
Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6. Sydney: Hipokrates; 2002. h. 111-112.
9. Heller, Luz. Gawat Darurat Obstetri. Gawat Darurat Ginekologi
dan Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. h. 28-29.
10. Sastrawinata, Sulaeman. Solutio Plasenta. Obstetri Patologi. Bandung: Eleman; 2004. h. 120-127.
11. Taber, Ben-zion, MD. Abrupsio Plasenta. Kapita Selekta
Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1994. h. 330-335.
1 komentar:
gan pathway juga buat biar lengkap...
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda di Sini