Selamat Datang di Denting Berdetak Blog, Silahkan Download File DIsini Gratis . . . !!!
Jangan Lupa Untuk Meninggalkan Komentar Anda.

Kamis, 20 Oktober 2011

Asuhan Keperawatan Klien dengan Solusio Plasenta


RETENSIO PLASENTA

I. PENDAHULUAN
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari tempat implantasinya sebelum janin lahir yang implantasinya di atas 22 minggu. Solusio plasenta biasa juga disebut  placental abruption. Plasenta normalnya terlepas setelah anak lahir, pelepasan plasenta sebelum minggu ke-22 disebut abortus dan jika terjadi pelepasan plasenta pada plasenta yang rendah implantasinya disebut plasenta previa bukan solusio plasenta. Perdarahan akibat solusio plasenta
biasanya merembes diantara selaput ketuban dan uterus,  kemudian  keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage). Terkadang darah tidak keluar tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan uterus, serta menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Solusio plasenta dapat total atau parsial. Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumtif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan. Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang luas di mana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi uteroplasenta dan menyebabkan hipoksia janin.


II. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan pervaginam ringan merupakan hal yang lazim selama persalinan aktif. “Bloody show” ini terjadi akibat pendataran dan pembukaan serviks disertai robeknya pembuluh-pembuluh vena halus. Perdarahan uterus dari tempat diatas serviks sebelum melahirkan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Perdarahan dapat berasal dari robeknya plasenta yang terletak di tempat lain di rongga uterus seperti solusio plasenta. Lipitz  meneliti 65 wanita secara beruntutan yaitu hampir 1 persen dari pasien mereka yang mengalami perdarahan uterus pada kehamilan antara 14 dan 26 minggu. Hampir seperempatnya mengalami solusio plasenta atau plasenta previa. Frekuensi solusio plasenta yang dilaporkan adalah sekitar 1 dari 200 pelahiran. Ananth  mengulas 13 penelitian dengan hampir 1,6 juta kehamilan dan melaporkan insiden 1 dari 155. Seiring dengan berkurangnya jumlah wanita yang berparitas tinggi yang dirawat serta tersedianya perawatan prenatal secara luas di masyarakat dan membaiknya transportasi darurat, frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin telah turun menjadi 1 dari 830 pelahiran dari tahun 1974-198.
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian perinatal. Walaupun angka kejadian cenderung menurun pada akhir-akhir ini namun morbiditas perinatal masih cukup tinggi, termasuk gangguan neurologis pada tahun pertama kehidupan. Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan.

III. ETIOLOGI
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko.
a)        Hipertensi essensial atau pre-eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas.
b)        Trauma dapat menyebabkan tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan
c)        Anemia.
d)     Adanya tekanan pada uterus yang biasanya di dapati pada keadaan polihidramnion ataupun setelah melahirkan kembar yang pertama.
Disamping itu ada juga pengaruh dari umur lanjut karena makin lanjut umur maka kemungkinan mendapatkan arteriosklerosis makin besar, multiparitas dimana didapatkan lebih banyak terjadi pada multigravida daripada primigravida, ketuban pecah sebelum waktunya, defisiensi as.folat, merokok dapat menyebabkan nekrosis dari lamina basalis, kokain dapat menyebabkan vasospasme dan hipertensi, mioma uteri.
Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi, antara lain mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik. Pada studi terdahulu di Parkland Hospital terdapat 408 kasus solusio plasenta yang sedemikian berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh wanita. Separuhnya mengidap hipertensi kronik dan sisanya menderita hipertensi gestasional dan pre-eklampsia. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa wanita hipertensi cenderung mengalami solusio yang lebih berat.

IV. ANATOMI UTERUS
Uterus merupakan organ muscular, berdinding tebal, dan pipih, cekung dan berbentuk seperti buah pir yang terbalik. Rongga uterus dilapisi endometrium. Uterus wanita yang tidak hamil terletak di rongga panggul antara kandung kemih di anterior dan rektum  di posterior. Pada wanita yang belum melahirkan, berat uterus matang sekitar 30-40 gr sedangkan pada wanita yang pernah melahirkan, berat uterusnya adalah  75-100 gr. uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin, dan teraba padat. Derajat kepadatan tergantung dari beberapa factor, diantaranya uterus lebih banyak mengandung rongga selama fase sekresi siklus menstruasi, lebih lunak selama masa hamil, dan lebih padat setelah menopause. Hampir seluruh dinding posterior uterus tertutup oleh serosa atau peritoneum, yang bagian bawahnya membentuk batas anterior kavum rektouterina atau disebut juga recto-uterine cul-de-sac atau kavum Douglasi. Sebelah atas rongga rahim berhubungan dengan saluran telur (tuba fallopi) dan sebelah bawah berhubungan dengan leher rahim (kanalis servikalis). Hubungan antara kanalis servikalis dan kavum uteri disebut ostium uteri internum, sedangkan muara kanalis servikalis ke dalam vagina disebut ostium uteri eksternum. Dinding rahim terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah perimetrium (lapisan peritoneum) yang meliputi dinding uterus bagian luar. Lapisan kedua adalah myometrium (lapisan otot), merupakan lapisan yang paling tebal terdiri dari otot polos yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mendorong isi dari rahin pada saat persalinan. Lapisan ketiga adalah endometrium (selaput lendir) merupakan lapisan bagian dalam dari korpus uteri yang membatasi kavum uteri. Dalam keadaan kehamilan endometrium berubah menjadi desidua.
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di bagian ismus. Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi atas segmen vaginal dan supravaginal.
Suplai vaskular uterus terutama berasal dari arteri-arteri uterus dan ovarium. Arteri  uterina  yang merupakan cabang utama arteri iliakainterna (hipogastrika), masuk ke dasar ligamentum latum dan berjalan ke medial menuju sisi uterus kira-kira setinggi ostium uteri internum dan memberi darah pada uterus dan bagian atas vagina serta mengadakan anastomose dengan arteri ovarica. Arteri ovarica berasal dari aorta masuk ke ligamentum latum melalui ligamentum infundibulo pelvicum dan memberi darah ke ovarium, tuba, dan fundus uteri. Darah dari uterus dialirkan melalui vena uterina dan vena ovarica.
Kontraksi dinding uterus  adalah autonom, tidak melalui sistem saraf pusat, serat saraf yang datang dari sistem saraf pusat hanya mengkoordinasi kontraksi. Uterus dipengaruhi oleh serat-serat saraf symphatis dan parasymphatis yang menuju ke ganglion cervical yang terletak pada pangkal ligamentum sacro uterinum. Rangsangan pada ganglion ini seperti tekanan oleh kepala anak dapat menguatkan his.
Ligamentum pada uterus terdiri dari ligamentum teres uteri, ligamentum latum, ligamentum infundibulum pelvicum, ligamentum cardinal, ligamentum sacro uterinum, dan ligamentum vesico uterinum. Ligament rotundum melekat ke kornu uterus pada bagian anterior insersi tuba fallopii. Struktur yang menyerupai tali ini melewati pelvis, lalu memasuki cincin inguinal pada dua sisi dan mengikat osteum dari tulang pelvis dengan kuat. Ligamin ini memberikan stabilitas bagian atas uterus. Liganmentum cardinam menghubungkan uterus ke dinding abdomen anterior setinggi serviks. Ligament uterosakral melekat pada uterus di bagian posterior setinggi serviks dan behubungan dengan tulang sacrum. Fungsi dari ligament cardinal dan uterosakral adalah sebagai penopang yang kuat pada dasar pelvis wanita. Kerusakan-kerusakan pada ligament ini, termasuk akibat tegangan saat melahirkan, dapat menyebabkan prolaps uterus dan dasar pelvis ke dalam vagina bahkan melewati vagina dan mencapai vulva
Tuba fallopi terdiri dari pars interstisial, ismus, ampula, dan infundibulum. Bagian interstisial tertanam di dalam dinding otot uterus. Ismus atau bagaian yang menyempit dari tuba menempel dengan uterus, sedikit demi sedikit semakin melebar ke bagian lateral, yaitu ampula. Infundibulum, atau ujung yang memiliki fimbriae, adalah lubang berbentuk corong pada ujung distal tuba fallopi.
Ovarium terletak pada bagian atas rongga panggul dan bersandar pada lekukan dangkal dinding lateral pelvis diantar pembuluh darah iliaka eksterna dan interna yang divergen – fosa ovarika waldeyer. Ovarium terdiri dari bagian luar (cortex) yang berisi folikel-folikel primordial dan bagian medulla terdapat pembulih darah, saraf, dan pembuluh limfe.

V. PROSES PEMBUAHAN DAN PEMBENTUKAN PLASENTA
Pada setiap siklus menstruasi normal, satu telur (ovum) dilepaskan dari salah satu ovarium, sekitar 14 hari sebelum periode menstruasi berikutnya. Pelepasan telur ini disebut ovulasi. Sel telur yang telah dilepaskan oleh ovum  akan menuju ke tuba. Pada ovulasi, lendir di leher rahim menjadi lebih cair dan lebih elastis, yang memungkinkan sperma masuk rahim dengan cepat. Dalam waktu 5 menit, sperma bisa bergerak dari vagina, melalui leher rahim ke dalam rahim, dan sampai ke tuba fallopi uantuk melakukan fertilisasi. Sel-sel yang melapisi tuba falopi memfasilitasi fertilisasi. Untuk membuahi sebuah ovum, sebuah sperma mula-mula harus melewati korona radiata dan zona pelusida yang mengelilingi ovum tersebut. Setelah terjadi fertilisasi atau pembuahan oleh sperma terjadi maka sel yang dihasilkan adalah zigot. Kemudian terjadi pembelahan pada zigot sehingga menghasilkan morula. Morula kemudian menuju ke uterus dan hidup dari sekresi endometrium dan terus membelah diri. Selama enam sampai tujuh hari setelah ovulasi, endometrium secara simultan dipersiapkan untuk implantasi di bawah pengaruh progesteron fase luteal. Selama waktu ini, uterus berada dalam fase sekretorik atau progestasional, mengumpulkan penyimpanan glikogen dan mengandung banyak pembuluh darah. Dalam keadaan normal pada saat endometrium siap diimplantasikan, morula kemudian berdiferensiasi menjadi blastokista yang mampu melakukan implantasi. Blastokista adalah satu lapis sel-sel berbentuk bola (sferis) yang mengelilingi suatu rongga berisi cairan dengan massa padat sel-sel (inner cell mass) yang akan menjadi janin itu sendiri. Dinding blastokista merupakan salah satu sel tebal, kecuali di suatu bagian, di mana ia adalah tiga sampai empat sel tebal. Sel-sel bagian dalam di daerah menebal berkembang menjadi embrio, dan sel-sel luar ke dalam dinding rahim berkembang menjadi plasenta. Bagian blastokista sisanya tidak akan menyatu dengan janin tetapi berfungsi sebagai penunjang selama kehidupan intrauterus. Lapisan tipis paling luar, yaitu trofoblas, bertanggungjawab menyelesaikan implantasi. Rongga cairan yang disebut blastokel akan menjadi kantung amnion yang mengelilingi dan menjadi bantalan bagi janin selama kehamilan.
Ketika blastokista siap melaksanakan implantasi, permukaanya menjadi lengket. Blastokista melekat ke lapisan dalam uterus. Implantasi dimulai ketika sel-sel trofoblastik mengeluarkan enzim-enzim proteolitik sewaktu bersentuhan dengan endometrium. Enzim-enzim ini mencerna jalan diantara sel-sel endometrium, sehingga sel-sel trofoblas yang berbentuk jari-jari dapat menembus ke dalam endometrium tempat implantasi dilakukan. Invasi trofoblas pada endometrium menyebabkan sel-sel endometrium mengeluarkan prostaglandin yang bekerja secara lokal untuk meningkatkan vaskularisasi sehingga menyebabkan edema dan meningkatkan simpanan zat gizi. Jaringan endometrium yang mengalami perubahan tersebut disebut desidua. Pada jaringan desidua yang superkaya inilah blastokista tertanam.
Lapisan trofoblas terus mencerna sel-sel desidua disekitarnya dan menyediakan energi sampai plasenta terbentuk. Simpanan glikogen dalam endometrium hanya mampu memberi makan pada minggu-minggu pertama. Untuk mempertahankan hidup di uterus, terbentuklah plasenta, suatu organ khusus untuk pertukaran antara darah ibu dan janin. Plasenta berasal dari jaringan trofoblastik dan desidua.
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri disebut desidua kapsularis; yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut desidua basalis; pada tempat itulah plasenta akan dibentuk. Saat ini lapisan trofoblastik sudah mencapai ketebalan dua lapisan yang disebut korion. Karena uterus mengeluarkan enzim dan meluas, korion membentuk suatu jaringan rongga-rongga yang meluas di dalam desidua. Dinding kapiler desidua mengalami erosi akibat ekspansi korion sehingga rongga berisi darah ibu. Terbentuk tonjolan-tonjolan mirip jari dari jaringan korion yang meluas ke dalam genangan darah ibu. Janin segera mengirimkan kapiler ke tonjolan-tonjolan korion untuk membentuk vilus plasenta. Sebagian vilus meluas secara sempurna menembus ruang-ruang berisi darah untuk menambatkan plasenta bagian janin ke jaringan endometrium, tetapi sebagian besar hanya menonjol ke dalam genangan darah ibu. Setiap vilus plasenta mengandung kapiler janin yang dikelilingi oleh selapis tipis jaringan korion yang memisahkan darah janin dan darah ibu di ruangan antarvilus. Melalui sawar yang sangat tipis inilah semua bahan dipertukarkan antara darah ibu dan janin. Plasenta menghasilkan beberapa hormon yang membantu menjaga kehamilan, misalnya plasenta menghasilkan human chorionic gonadotropin (HCG), yang mencegah indung telur dari telur melepaskan dan menstimulasi ovarium untuk menghasilkan estrogen dan progesterone. Keseluruhan sistem struktur ibu (desidua) dan janin (korion) yang saling mengunci ini membentuk plasenta.
Plasenta adalah organ yang berfungsi respirasi, nutrisi, ekskresi dan produksi hormon. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme difusi sederhana, difusi terfasilitasi, aktif, dan pinositosis. Difusi sederhana misalnya pertukaran oksigen, difusi terfasilitasi misalnya difusi glukosa akibat perbedaan kadar glukosa antara ibu dan janin, transport aktif misalnya traspor as.amino dan vitamin, pinositosis misalnya traspor IgG, fosfolipid, dan lipoprotein.
Janin dan plasenta dihubungkan oleh tali pusar yang berisi oleh 2 arteri dan satu vena, vena berisi oleh darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor. Pada kehamilan aterm arus darah uteroplasenta berkisar 500-750 ml/menit, jika arus darah uteroplasenta berkurang misalnya pada pre-eklampsia mengakibatkan perkembangan janin terhambat. Konsep yang diterima saat ini, jika implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan model arteri spiralis tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi uteroplasenta  abnormal dan beresiko pre-eklampsia.

VI. PATOFISOLOGI
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Hematom ini semakin membesar dan menekan jaringan plasenta sehingga bagian plasenta yang terlepas juga semakin besar. Akhirnya hematom mencapai pinggir plasenta dan mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim. Darah dapat berada diantara desidua dan membran yang dapat keluar melalui serviks kemudian ke vagina (pardarahan eksternal). Jika ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan bagian bawah dari serosa bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba masuk ke rongga panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan darah yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi pada uterus dan bekuan retroplasenter menyebabkan pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainny.
Besarnya permukaan plasenta yang menjadi terpisah dari suplai darah ibu menentukan gambaran klinis dengan mempengaruhi jumlah kehilangan darah akut dari ibu dan penurunan suplai oksigen ke janin, menyebabkan gawat janin atau kematian. Pasien dengan perdarahan yang sedikit mungkin belum menimbulkan gejala pada awalnya. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Darah pada desidua basalis hasil dari pelepasan plasenta menyebabkan hipoksia pada janin sedangkan darah pada lapisan serosa rahim dapat menyebabkan Couvelair Uterus. Awalnya perdarahan di dalam desidua basalis terjadi karena pecahnya arteri kecil pada lapisan desidua ibu disertai pembentukan hematoma sehingga menyebabkan nekrosis lokal. Tekanan yang dihasilkan oleh perdarahan menyebabkan plasenta terlepas. Pada kebanyakan pasien, perdarahan dari pemisahan plasenta meluas ke tepi plasenta kemudian dapat terjadi pecahnya selaput ketuban dan darah masuk ke dalam cairan amnion atau kasus yang lebih sering terjadi adalah darah berada di antara korion dan desidua vera kemudian mencapai ostium interna serviks dan vagina sehingga terjadi perdarahan ekternal (revealed hemorrhage). Jika lapisan marginal plasenta tetap melekat pada uterus disertai letak kepala janin pada segmen bawah uterus, hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi (conceled hemorrhage). Banyaknya darah yang keluar melalui vagina hanya sebagian kecil dari total perdarahan yang terjadi di dalam uterus.
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim yang disebut internal hemorage (concealed haemorage); masuk merembes ke dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketunban dan dinding uterus), yang disebut external haemorage (revealed haemorage).
Solusio plasenta dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    Menurut jenis Perdarahan
   1. Jenis perdarahan tersembunyi (concealed), perdarahan terperangkap dalam kavum uteri (hematoma retroplasenta)
      2.        Jenis perdarahan keluar/ekternal (revealed), darah keluar dari ostium uteri
b.    Menurut lepasnya plasenta
     1.    Solusio plasenta parsialis, bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari perlekatannya.
   2.    Solusio plasenta totalis (komplit), bila seluruh plasenta sudah terlepas dari tempat perlekatannya.
c.    Menurut derajatnya (grading)
    1.    Solusio plasenta ringan
        a)    Perdarahan kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari 1/5 bagian
       b)   Perut ibu masih lemas sehingga janin mudah di raba
       c)    Tanda fetal distress belum tampak
       d)   Terdapat perdarahan hitam pervaginam
       e)    Tanpa gangguan pembekuan darah
2.      Solusio plasenta sedang
      a)    Lepasnya plasenta antara ¼-2/3 bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc
    b)   Perut mulai tegang, nyeri tekan uterus karena darah telah mengadakan infiltrasi di antara serabut otot uterus dan janin sulit di raba
      c)    Janin mengalami hipoksia dan denyut jantung abnormal
      d)   Tanda persalinan ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
3.      Solusio plasenta berat
     a)      Lepasnya plasenta melebihi 2/3 bagian
     b)      Ibu biasanya dalam keadaan syok
     c)      Perut nyeri dan tegang, bagian janin sulit di raba
   d)   Darah dapat masuk otot rahim, uterus couvelaire yang menyebabkan atonia uteri serta perdarahan pasca partus
     e)     Terdapat gangguan pembekuan darah

VII. GEJALA KLINIS
a.         Nyeri perut berat dan konstan, nyeri semakin bertambah jika terdapat  perdarahan yang tersembunyi.
b.         Perdarahan pervaginam.
c.         Uterus menjadi tegang dan nyeri saat disentuh karena isi rahim bertambah, terjadi ektravasasi perdarahan hingga ke dinding uterus. Pada kasus yang berat, darah dapat masuk ke peritoneum dan menyebabkan sulit untuk mendengarkan denyut jantung janin.
d.        dapat terjadi atonia uteri.
e.         Tanda-tanda syok tampak
f.          Bunyi jantung janin berfluktuasi
g.         Dapat terjadi hipovolemia berdasarkan beratnya perdarahan

VIII. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1)      Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut; kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
2)      Perdarahan pervaginam terdiri dari darah segar dan bekuan darah.
3)      Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti.
4)      Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang.
b. Pemeriksanaan Fisik
1) Inspeksi
a)      pasien gelisah
b)      pucat, sianosis, keringat dingin
c)      perdarahan pervaginam
2) Palpasi
a)      Fundus uteri tampak naik karena terjadi hematoma retroplasenter; uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan
b)      Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun diluar his.
c)      Nyeri  tekan terutama di tempat plasenta terlepas
d)     Bagian-bagian janin sulit teraba, karena uterus tegang.
3) Auskultasi
a)      Sulit karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140/menit, kemudian menurun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari sepertiga.
c. Pemeriksaan Dalam
1)        Serviks dapat terbuka atau masih tertutup.
2)        Kalau telah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun diluar his.
d. Tes Laboratorium
1)        Hitung darah lengkap dan hapusan darah dapat mengindikasikan adanya anemia dan kehilangan darah. Penurunan nilai hematokrit pada serangkaian pemeriksaan dan memberi kesan adanya perdarahan tersembunyi. Periksa golongan darah, kalau bisa cross match test karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah atau hipofibrinogenemia, maka diperiksa pula COT (Clot observation Test) tiap satu jam, tes kualitatif fibrinogen (fibrindex), dan tes kuantitatif fibrinogen.
2)        Urinalisis biasanya normal. Proteinuria memberi kesan adanya kaitan dengan pre-eklampsia.
e. Radiologi
Pada pemeriksaan ultrasonographic (USG), perdarahan akut dapat terlihat hiperechoic atau isoechoic sama dengan warna plasenta. Lebih dari 1 minggu hematoma menjadi hipoechoic. Untuk itu dalam mendiagnosis dibutuhkan pemeriksaan USG beberapa kali, disamping itu pemeriksaan USG digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya plasenta previa. Hematoma preplasenta dapat terlihat mengapung pada cairan amnion saat menahan pasenta. USG dapat menunjukkan banyak perdarahan, hiphoechoic atau hiperechoic (tergantung stadiumnya) perdarahan retroplasenta dan elevasi plasenta dari dinding uterus akan tampak. Pemeriksaan USG dapat memperlihatakan perdarahan retroplasenta diantara plasenta dan miometrium.

IX. DIAGNOSIS BANDING
a. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan rahir (ostium uteri internal). Klasifikasi antara lain adalah plasenta previa totalis, plasenta previa parsialis, dam plasenta previa marginalis.
Gejala Klinis dari plasenta previa ialah perdarahan pada kehamilan diatas 20 minggu, tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent). Sebab perdarahan ialah karena ada plasenta yang robek yang berada pada segmen bawah rahim. Perdarahan bergantung pada banyak pembuluh darah yang robek dan plasenta yg lepas. Pada sebagian kasus, terutama pada mereka yang plasentanya tertanam dekat tetapi tidak menutupi ostium serviks, perdarahan mungkin belum terjadi sampai persalinan dimulai. Perdarahan ini bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menyerupai solusio plasenta.
Mendiagnosis plasenta previa selalu harus dibandingkan dengan solusio plasenta karena keduanya merupakan jenis perdarahan pada paruh terakhir kehamilan. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan luar yang menunjukkan terdapat kelaianan letak plasenta, inspekulo, dan USG. Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan sampai pemeriksaan sesuai termasuk USG, jelas membuktikan bahwa itu bukan plasenta previa. Diagnosis plasenta previa jarang dapat dipastikan dengan pemeriksaan klinis. Dengan USG dapat terlihat jelas lokasi implantasi plasenta, sehingga dengan USG dapat dipastikan diagnosis plasenta previa. Pemakaian USG transvaginal mampu melakukan visualisasi ostium serviks pada semua kasus.
Penatalaksanaan plasenta previa pada janin prematur tetapi tanpa perdarahan aktif adalah perawatan konservatif seperti tirah baring, infus dextrose 5%, pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan Hb, hematokrit, dan USG. Pasien dapat dipulangkan setelah perdarahan berhenti dan janin dianggap sehat. Namun jika kehamilan telah cukup bulan, terjadi perdarahan aktif, atau anak mati dapat dilakukan penanganan aktif berupa persalinan pervaginam atau seksio sesarea. Persalinan pervaginam dilakukan pada keadaan Plasenta previa lateralis/ marginalis dengan KJDR, serviks matang, kepala masuk PAP,  maka lakukan amniotomi diikuti drip oksitosin diteruskan persalinan pervaginam. Sedangkan Indikasi seksio sesarea adalah plasenta previa totalis, perdarahan banyak tanpa henti, presentasi abnormal, panggul sempit, dan gawat janin.
b. Ruptura Uteri
Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Peregangan berlebihan segmen bawah uterus (SBR) disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada rupture uteri. Ruptur uteri yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering mengenai SBR yang menipis. Robekan apabila terletak dekat dengan serviks, sering meluas secara melintang atau oblik.
Gejala klinis dari ruptur uteri ialah rasa nyeri yang luar biasa saat datangnya his, terlihat tanda-tanda syok hipovolemia, pernapasan dangkal dan cepat, karena partus lama terjadi menyebabkan dehidrasi, tampak lingkaran retraksi patologis Bandl. Setelah terjadinya ruptur uteri biasanya rasa nyeri menghilang sementara dan setelah itu penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata disertai dengan gawat janin, bagian terendah janin mudah di dorong ke atas, bagian janin mudah diraba dengan palpasi abdomen, dan countour janin terlihat melalui inspeksi abdomen. Pada ruptur uteri jika dilakukan pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kadang-kadang kita dapat meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati oleh jari untuk mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan buka berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri.
Pada ruptur uteri spontan atau ruptur yang jelas sewaktu partus percobaan setelah seksio sesarea, sering dilakukan histerektomi. Ligasi arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi perdarahan secara bermakna.

X. PENATALAKSANAAN
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan.
Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan.
Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk, jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginam dengan amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea diindikasikan bila persalinan diperkirakan > 6 Jam. Pasien dengan solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi darah atau resusitasi cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah untuk mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera berikan infus oksitosin. Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok serta mengurangi kemungkinan masuknya tromboplastin.
Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika persalinan pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan pada keadaan dimana solusio plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan kecil, solusio plasenta dengan toksemia berat dengan perdarahan banyak tetapi pembukaan kecil, dan solusio plasenta dengan panggul sempit atau letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi pilihan jika janin harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin.
Ketika fibrinogen turun mencapai <300mg/dl terjadi gangguan pembekuan darah, harus dilakukan transfusi. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik. Histerektomi dilakukan bila ada atonia uteri yang berat, Hipofibrinogenemia dan kalau persedian darah atau fibrinogen tidak cukup.
Resusitasi dan mengembalikan volume darah dilakukan untuk mencegah kerusakan ginjal. Pemberian darah yang cukup  bergantung pada derajat perdarahan ibu. Paling sedikit 1500 ml darah harus ditransfusikan pada kasus perdarahan sedang, dan 2500 ml pada kasus berat, 500 ml pertama ditransfusikan secara cepat untuk mencegan gangguan ginjal dan anuria dan sisa transfusi di sesuaikan dengan kebutuhan. Darah vena diperiksa setiap 2 jam untuk mengetahui koagulopati dan jika terjadi gangguan ini harus di terapi.
Jumlah urine yang keluar diukur setiap 2 jam. Dapat terjadi oliguria tetapi diuresis dapat timbul setelah melahirkan asalkan jumlah darah yang ditransfusikan memadai. Diuresis yang baik lebih dari 30-40 cc/jam, jika urine <30 ml/jam, harus segera di berikan bolus cairan 250-500ml.

XI. KOMPLIKASI
a. Kegagalan pembekuan darah (coagulation failure), pada kasus yang berat dan perdarahan tersembunyi dapat terjadi. Gangguan pembekuan darah harus segera ditangani sebelum proses persalinan dilakukan. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik, fresh frozen plasma dan konsentrasi platelet dapat diindikasikan.
b. Intrauterin fetal death
c. Emboli, syok yang berat sewaktu persalinan dapat disebabkan oleh emboli air ketuban. Setelah ketuban pecah ada kemungkinan air ketuban masuk ke dalam vena-vena tempat plasenta, endoserviks, atau luka lainnya. Air ketuban mengandung lanugo, verniks kaseosa, dan mekonium  dapat menimbulkan emboli karena dapat  menyumbat kapiler paru dan menimbulkan infark paru serta dilatasi jantung kanan. Emboli ini dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul bila terjadi emboli yaitu sesak napas, sianosis, edema paru, syok, dan relaksasi otot-otot rahim dengan perdarahan pasca persalinan.
d. Kerusakan ginjal, syok hipovolemik yang berat dapat menyebabkan gagal ginjal dengan diawali hemoglobinuria, kemudian oliguria atau anuria. Hal ini dapat merusak tubulus ginjal atau nekrosis pada korteks ginjal. Untuk itu pada kasus solusio plasenta yang berat harus dilakukan monitoring pengeluaran urine secara cermat. Pre-eklampsia sering menyertai solusio plasenta, vasospasme ginjal kemungkinan besar makin intensif. Bahkan apabila solusio plasenta disertai penyulit koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan secara dini dan agresif dengan darah dan kristaloid sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui, proteinuria sering dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang berat. Proteinuria ini biasanya mereda segera setelah pelahiran.

XII. PROGNOSIS
Prognosis untuk anak pada solutio plasenta yang berat adalah kematian anak 90%. Untuk ibu solusio plasenta juga merupakan keadaan yang berbahaya tapi dengan persediaan darah yang cukup dan penanganan yang baik, kematian dapat ditekan. Prognosis bergantung pada besarnya bagian plasenta yang terlepas, banyaknya perdarahan, beratnya hipofibrinogenemi, apakah perdarahan nampak atau tersembunyi dan lamanya keadaan solusio plasenta berlangsung.
Mortalitas terhadap ibu terjadi karena adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi. Pada perdarahan eksternal, resiko yang terjadi pada ibu bergantung pada banyaknya darah yang hilang, namun kematian ibu jarang terjadi. Pada perdarahan yang tersembunyi, prognosisnya sulit diperkirakan. Komplikasi bisa hanya satu ataupun kombinasi. (1)Perdarahan bisa terjadi intraperitoneal ataupun hematoma pada ligamentum. (2) syok dapat terjadi berdasarkan jumlah darah yang keluar. (3)Gangguan pembekuan darah. (4) oliguria dan anuria biasanya dipengaruhi oleh syok hipovelemia. Faktor komplikasi bertanggung jawab atas peningkatan kematian ibu. Penanganan yang baik terhadap syok, kegagalan koagulasi dan gangguan ginjal, dapat menurunkan kematian ibu.
Mortalitas terhadap anak lebih tinggi, hal ini bergantung pada pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga bergantung pada prematuritas dan tindakan persalinan. Pada perdarahan eksternal kematian janin mencapai 25-30% dan pada perdarahan tersembunyi mencapai 50-100%. Kematian disertai dengan prematuritas dan anoxia karena pelepasan plasenta.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Cunningham, F. G; Gant, N. F; Levono, K. J; et all [ed]. Obstetri William. Volume 1. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h. 687-96, 34-52.
2.      Prawirohardjo, Sarwono. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka; 2008. h. 503-506.
3.      Sastrawinata, Sulaiman. Perdarahan Antepartum. Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 91-97.
4.      Mochtar, Rustam. Perdarahan Antepartum (Hamil Tua). Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998. h. 279-287
5.      Hanretty, P Kevin. Vaginal Bleeding In Pregnancy. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Philadelvia: Elsevier Science; 2003. h. 188-189.
6.      Bader, J Thomas. Antepartum Bleeding. OB/GYN SECRET. Third Edition. Philadelphia: Hanley and Belfus, INC; 2003. h. 279-281.
7.  Manuaba, Ida Bagus Gde. Perdarahan Antepartum. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. h. 436-441.
8.  Llewellyn, Derek-Jones. Perdarahan Antepartum. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6. Sydney: Hipokrates; 2002. h. 111-112.
9.  Heller, Luz. Gawat Darurat Obstetri. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. h. 28-29.
10.  Sastrawinata, Sulaeman. Solutio Plasenta. Obstetri Patologi. Bandung: Eleman; 2004. h. 120-127.
11.  Taber, Ben-zion, MD. Abrupsio Plasenta. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994. h. 330-335.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

gan pathway juga buat biar lengkap...

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda di Sini

Baca Juga

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog